Selasa, 14 April 2009

dilecehkan itu, sakit.

Apapun di dunia ini, pasti ada yang baik dan buruk. Ada yang bagus dan jelek, pintar dan bodoh, dan ada miskin dan kaya. Dina beruntung bisa diterima di sekolah menengah pertamanya sekarang, meski sejatinya bukanlah sekolah favorit Dina.

Dina termasuk anak yang kurang pandai, juga bukanlah berasal dari keluarga yang mampu. Makanya Dina selalu berusaha menjada sikap dan perilakunya di sekolah. Dina takut kalau ada siswa lain yang membencinya.

Seminggu pertama duduk di kelas VII B sekolah itu lumayan bisa membuat Dina betah. Teman teman sekelasnya dirasa begitu baik, pun guru gurunya yang ramah dan tidak ada yang pilih kasih.

Tapi Ana, siswi yang duduk di bangku belakang barisan meja Dina, adalah teman yang lumayan lain di mata Dina. Setiap hari dia berangkat diantar ibunya yang seorang pegawai negri menggunakan sepeda motor. Berangkat dnegan baju, tas dan sepatu baru yang terlihat jelas kalau harganya tidak murah. Perhiasannya menunjukan kalau Ana sangat royal, meskipun bukan perhiasan emas. Sifatnya begitu angkuh dan sulit berteman dengan Dina.

Pulang sekolah siang itu, Dina tidak sengaja menyrembet Ana saat hendak keluar dari gerbang sekolah. Ana terjatuh dan berteriak kesakitan. Dina langsung menjatuhkan sepeda bututnya dan berlari mengangkat tubuh Ana.

“An, maafin aku ya... aku tidak sengaja nyrempet kamu”

“lepasin...! jangan sentuh baju aku, lepasin...!” jawab Ana sambil menjauhkan tubuhnya dari Dina. “maafin aku ya An, apa... apa kamu mau aku antar pulang?” Dina terus minta maaf sambil menunjuk dan mengangkat sepedanya.

Mata Ana melotot heran melihat sepda milik Dina. “ih, nggak perlu. Aku nggak papa kok” jawabnya ketus sambil merapihkan pakaiannya. “tapi kamu...” Dina masih berusaha menolongnya. “mah...” ucap Ana sambil berlari menuju ibunya di sebrang jalan.

Sejak itulah, Ana begitu membenci Dina. Ana selalu ketus setiap kali Dina mengajaknya berbicara. Juga begitu sinis memandang Dina.

Seperti saat pelajaran olah raga. Dina dan Ana berada di satu tim saat pertandingan bola voli. Secara tidak sengaja bola dari lawan cukup keras mengenai Ana, yang membuatnya jatuh. Dina langsung berlari dan menolong Ana.

“ih, ngapain sih? Nggak usah sok baik deh” jawab Ana ketus menerima bantuan Dina. “maaf An, tapi kamu tidak kenapa kenapakan?”. .”udah minggir minggir!” lanjutnya sambil pergi keluar lapangan.

Juga saat Dina meminta uang iuran untuk praktek biologi,

“Ana, kamu mau bayar sekarang?”. “bayar apaan?” jawabnya tanpa memandang Dina. “iuran buat praktek biologi, kelompok kita udah bayar semua kecuali kamu. Hari ini uangnya mau diserahkan ke Pak Ihsan” lanjut Dina meminta dengan lembut.

“oh...” Ana masih memainkan handphone ditangannya. “atau mau aku talangin dulu?” lanjut Dina menawarkan kebaikannya. “hah?! Apa kamu bilang? Kamu pikir aku gak punya uang? Lama lama kamu nyebelin banget ya! Eh, asal kamu tau, akutuh benci banget sama kamu. Jadi kamu nggak usah sok peduli gitu sama aku. Nih aku bayar, aku gak butuh apapun dari kamu” jawab Ana marah sambil melempar uangnya lalu pergi.

Lama lama Dina semakin tidak enak hati, setiap kali ada Dina dipandangan Ana, Ana langsung pergi. Dina sangat tidak nyaman dengan kondisi ini.

“Din, kalau saran aku sih... lebih baik kamu ngomong baik baik sama Ana dia maunya apa? Terus kalau kamu bisa, kamu lakukan biar dia seneng. Aku gak mau kamu dilecehkan gini Din, aku ikut sakit”

Nasehat dari Airin malah membuat Dina makin bingung dan gelisah. Ia tidak tau apa yang musti ia lakukan.

Saat istirahat di depan ruang perpustakaan. Ana langsung bergegas pergi begitu melihat Dina hendak menghampirinya. “Ana tunggu!” cegah Dina.

Ana langsung berhenti dan tetap duduk meski wajahnya tidak menatap Dina. “aku tau aku pernah buat salah sama kamu. Aku juga mungkin sering bikin kamu sakit. Tapi tolong An, jangan hukum aku kayak gini. Jujur aku tidka sanggup dengan semua ini” ucap Dina masih berdiri dibelakang Ana.

“aku tidak mau dibenci sama siapapun. Aku, dan mungkin semua siswa pengin tenang sekolah disini. Tidak ada yang merasa dilecehkan atau tidka dihargai, atau mungkin merasa tidak enak dengan siapapun. Dan aku, aku paling tidak suka kalau dilecehkan, karena dilecehkan itu sakit An” lanjut Dina dengan nada sedikit marah meskipun airmata sudah membendung matanya.

“mungkin dulu aku bisa tahan itu semua, tapi sekarang aku tidak bisa An. Aku mohon kamu ngerti dan mau maafin aku. Aku ingin betah dan nyaman sekolah disini” Dina makin bersedih, dan terus menluapkan perasaannya meskipun Ana tetap membuang wajahnya dari pandangan Dina. “semua terserah kamu An, aku hanya bisa berharap. Makasih udah mau denger” lanjut Dina sambil pergi dan menghapus air matanya.

Sejak saat itu, sikap Ana seidkit berubah. Namun masih tetap sinis dan kelihatan masih membenci Dina. Setiap berpapasan, Dina selalu berharap bisa berbicara apapun dengan Ana, tapi Ana selalu menghindar. Kondisi ini se;a;u membuat Dina dan Airin sedih. Airin sangat mengerti keadaan Dina.

“Din...”

Dina sedikit kaget melihat sepotong coklat berhenti didepan mukanya. “Ana?” Dina tersenyum sedikit kaget sambil berdiri. “ini buat kamu, maafin aku ya...” Ana makin menyodorkan coklatnya sambil membalas senyuman Dina. “makasih An, aku seneng kamu mau ngerti keadaanku” Dina pun langsung memeluk Ana.

Air mata Dina mendadak kering mendengar pernyataan Ana. Merekapun kini bersahabat, meskipun status mereka berbeda. Tiada lagi yang merasa dilecehkan. Mereka makin senang dan nyaman sekolah disitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar